Salima ( tunduk, pasrah, damai) adalah sebuah akar kata yang melahirkan beberapa kata yang amat penting dalam agama Islam. Dari akar kata itu lahir salam (ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian), islam, Istislam (pembawa kedamaian), dan Taslim (ketundukan, kepasrahan, dan ketenangan). Salam adalah ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian secara umum atau standar. Islam adalah ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian dalam pengertian yang lebih khusus, memiliki seperangkat konsepsi nilai dan norma. Istislam adalah seruan ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian yang sempurna, lebih cepat, tegas, dan rigit. Dalam kaedah bahasa Arab setiap pertambahan huruf kata jadian mengisyaratkan adanya peningkatan intensitas makna. Dari yang paling standar tiga huruf (tsulatsi) sampai yang paling sempurna enam huruf (sudasi).
Allah Swt memberi nama agamanya yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dengan agama Islam (masdar dari bentuk ruba’i, empat huruf). Bukan agama salam (ketundukan dan kepasrahan tanpa konsep dan norma), atau agama istislam yang sempuna, lebih mengutamakan kecepatan, dan ketegasan dalam memperjuangkan kerundukan, kepasrahan, dan kedamaian). Kata islam itu sendiri mengisyaratkan jalan tengah atau moderat (tawassuth), antara tsulatsi dan sudasi. Kata salam dengan standar minimalis membuka peluang lahirnya faham liberalisme dan kata istislam dengan standar maksimum membuka peluang lahirnya radikalisme.
Di dalam Al-Qur'an ditegaskan: Innad dina 'indallah al-islam (Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam/Q.S. Ali Imran/3:19), man yabtagi gairal islami dinan falan yqbala minhu (Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya/Q.S. Ali Imran/3:85)., dan "al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu 'alaikum ni'mati wa radhitu lakumul islama dina" (pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu/Q.S. Almaidah/5:3).
Perhatikan ayat-ayat tersebut di atas semuanya menggunakan kata al-islam, dengan menggunakan alif ma'rifah (al), bukan islam dalam bentuk nakirah, bukan juga salam atau istislam. Ini semua menunjukkan bahwa dari segi bahasa saja al-islam (Islam) sudah mengisyaratkan jalan tengah, moderat, dan sudah barang tentu menolak liberalisme dan radikalisme. Seharusnya seorang muslim (orang yang beragama Islam) itu mengedepankan ketundukan, kepasrahan dan kedamaian yang pada akhirnya merasakan ketenangan lahir batin. Agaknya kontradiktif jika panji-panji Islam dibawa-bawa untuk sesuatu menyebabkan lahirnya kekacauan dan ketidaknyamanan. Apa lagi jika atas nama Islam digunakan untuk melayangkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa, sangat tidak sepadan dengan kata islam itu sendiri.
Memang dalam Islam dikenal dengan konsep jihad (dari akar kata jahada, bersunguh-sungguh) yang berarti perjuangan yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan amar ma'ruf dan nahi munkar, demi terwujudnya kemuliaan harkat kemanusiaan. Jadi makna jihad sesungguhnya bertujuan untuk menghidupkan orang, bukan untuk membunuh atau menyebabkan kematian seseorang. Memang di dalam Islam dikenal juga konsep perang (al-qital), tetapi dengan kriteria dan ketentuan yang amat ketat. Tujuan peperangan dalam Islam hanya untuk membela dan memproteksi diri dari kelompok musuh yang sungguh-sungguh akan membinasakan umat Islam, seperti berbagai peperangan yang telah dilakukan sendiri oleh Rasulullah.
Sesuai dengan namanya, Islam adalah agama kedamaian dan agama kemanusiaan. Penggunaan kata islam di dalam Al-Qur'an dan hadis sesungguhnya lebih dominan sebagai feminine word ketimbang masculine word. Al-Qur'an sendiri lebih menonjol sebagai the feminine Book ketimbang the masculine Book. Bahkan Al-Qur'an melukiskan Allah Swt lebih menonjol sebagai The Mother God ketimbang sebagai The Father God. Perhatikan Al-Qur'an yang diawali dengan surah al-Fatihah, ketujuh ayatnya melukiskan kemahalembutan Allah Swt. Diawali dengan kata "Bismillah al-Rahman al-Rahim", yang menggambarkan Allah Swt sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ayat keduanya diulangi lagi sebagai penekanan (stressing point). Ayat ketiganya, Rabb al-'alamin, dapat dimaknai dengan The Mother of universe, Pemelihara, Pengasuh, Perawat alam semesta. Konsep basmalah sendiri hanya satu di dalam Al-Qur'an, yaitu "Bismillah al-Rahman al-Raahim". Allah lebih menonjolkan Dirinya sebagai al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Raahim (Maha Penyayang), meskipun kita tahu Ia mempunyai 99 nama lain. Ia tidak pernah menampilkan nama-nama maskulin dalam konsep basmalah, seperti al-Muntaqim (Maha Pendendam) dan al-Mutakabbir (Maha Penyayang). Penggunaan nama-nama feminin paling sering terulang dari pada nama-nama maskulin-Nya. Al-Rahim terulang 114 kali dan al-Rahman sebanyak 57 kali. Bandingkan dengan al-Muntaqim dan al-Mutakabbir masing-masing hanya terulang sekali di dalam Al-Qur'an.
Memang agak mengherankan, mengapa umat Islam seringkali menampilkan sikap kasar, keras, bahkan dalam bentuk teroris (struggeling power), sementara Al-Qur'an, Nabi Muhammad Saw, dan Allah Swt lebih menonjolkan kelembutan dan kasih-sayang (nurturing power). Makanya itu, menarik untuk diperhatikan buku yang ditulis oleh Bernard Lewis yang berjudul "What Went Wrong?". Dalam buku ini ia mempertanyakan substansi ajaran Islam yang sedemikian mengesankan dan sejarah masa lampau Islam, terutama di masa kejayaan Islam, begitu mencerahkan, tiba-tiba sekarang ini sekelompok umat Islam atas nama Islam seolah-olah membuyarkan mitos masa lampau itu. Oleh kelompok minorotas Islam itu tiba-tiba mencitrakan Islam sebagai agama yang menakutkan, sehingga muncul apa yang disebut dengan islamo phoby. Ia mempertanyakan apa yang salah di dalam komunitas umat Islam selama ini? Apakah itu semata-mata disebabkan oleh perubahan internal dalam diri umat Islam dalam upaya mengaktualisasikan diri dan ajaran Islam, atau sebagai reaksi dunia Islam terhadap factor ekternalnya yang dirasakannya kurang adil. Beberapa negara muslim mengalami perlakukan tidak adil dari negara-negara lain, seperti negara Palestina, Bagdad, Afganistan, dan beberapa negara lainnya. Akumulasi dari berbagai kekecewaan itu maka sekelompok dari umat Islam yang tidak sabar melakukan reaksi yang keras terhadap negara-negara tertentu. Oleh karena kebetulan negara-negara yang banyak terlibat di dalam persoalan tersebut adalah negara-negara Barat, maka negara dan warga Negara ini dijadikan target oleh kelompok minoritas tersebut. Jadi sesungguhnya yang terjadi bukan clash of civilizations seperti yang digambarkan oleh Samuel P.Huntington, tetapi yang terjadi adalah seperti yang sering disebutkan oleh Pak SBY, the clash of fundamentalism yang mewakili kedua komunitas tersebut.
Kelompok-kelompok minoritas seolah mengambil dan memanfaatkan momentum ini untuk menjalin komunikasi dengan sesama umat Islam yang memiliki pandangan yang sama. Connecting komunitas ini tidak lagi antar negara (sesama negara muslim), tetapi interpersonal yang ada dari berbagai negara, termasuk orang-orang yang hidup di negara-negara Barat. Dunia Islam sekarang mengalami apa yang disebut oleh Oliver Roy dalam bukunya yang terkenal "Globalised Islam" sebagai a stateless muslim minority, atau berbagai istilah lainnya seperti trans-nasional atau internasionalisasi gerakan minoritas. Yang menjadi pertanyaan banyak orang ialah kenapa kelompok minoritas ini begitu bebas dan leluasanya mengclaim diri dan gerakannya sebagai gerakan Islam, sementara kelompok mainstream muslim diam-diam melakukan pembiaran terhadap mereka, atau paling tidak mereka belum berani untuk bersuara (speak out) menyuarakan kelompok mayoritas. Tidak heran kalau kelompok mayoritas ini mendapatkan julukan silent mayority, mayoritas tetapi diam, sementara minoritas justru lebih vocal.
Kini sudah saatnya mayoritas muslim bicara dalam upaya menciptakan stabilitas dunia dan umat manusia. Menarik disimak apa yang disampaikan Raja Abdullah, pemimpin tertinggi Yordania ketika ia diterima di Gedung Putih saat itu mengatakan, sudah saatnya klaim kelompok minoritas itu diambil alih oleh kelompok mayoritas. Yang paling berhak mengklaim Islam adalah kelompok mainstream, mayoritas muslim.
Kelompok minoritas Islam libral seringkali memaknai Islam dalam konteks salam, yang lebih bersifat substansial dan universal. Sementara kelompok minoritas Islam radikal lebih memaknai Islam dalam konteks istislam, yang menuntut adanya intensitas dan semangat akseleratif di dalam mewujudkan nilai-nilai dasar Islam. Kelompok mayoritas konsisten melihat Islam sebagai sistem nilai yang bukan hanya memiliki substansi universal tetapi juga memiliki sistem norma tersendiri, namun sistem nilai dan norma ini tetap terbuka untuk menerima nilai-nilai lokal. Konsep yang terakhir ini (islam) yang lebih dipopulerkan di dalam Al-Qur'an dan hadis.
Oleh:
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. - Menteri Agama Republik Indonesia