Seminar Umum: Bedah Buku "Islam Nusantara dalam Konteks Multikulturalisme dan Radikalisme" ini diharapkan bisa menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan khususnya ke-"gagal-fahaman" pada konteks Islam Nusantara serta menjadi tempat diskusi untuk mengenal Islam di Indonesia berikut implementasinya. Acara ini diawali dengan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya dan laporan kegiatan oleh ketua pelaksana Seminar Mirza yang menyampaikan bahwa tema Islam Nusantara ini tidak lepas dari peristiwa paska reformasi 98 dan 11 september 2001. Setelah dua perisitiwa ini, gerakan Islam transnasional lahir ditandai dengan munculnya Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Tidak dipungkuri, gerakan ini berdampak pada masyarakat dan ikut mewarnai kehidupan bersosial dan berbudaya di Indonesia. Gerakan ini juga mempengaruhi keharmonisan dan kemajemukan warga Indonesia. Munculnya gerakan Islam transnasional ini menumbuhkan radikalisme dan intoleransi. Menjadi harapan Mirza dan seluruh panitia bahwa kegiatan seminar ini bisa menjadi wadah dialog yang baik bagi seluruh warga Indonesia di Jerman dan Berlin khususnya.
Dalam sambutannya di pembukaan seminar, Duta Besar RI untuk Jerman Bapak Arif Havas Oegroseno menceritakan pernyataan Ministerpresiden mengenai kekhawatiran akan berkembanganya kelompok radikal. Berdasarkan survey, jika diadakan pemilu sekarang, AFD (Alternative für Deutschland) bisa menempati juara dua. Perkembangan menarik lain yang beliau sampaikan adalah, kini recruitment tidak lagi terjadi di masjid, tetapi di bar, café, bahkan di strip club. Recruiter sudah tidak lagi mencari orang yang beragama dan kuat secara iman, tapi lebih fokus hanya untuk menciptakan teror. Melakukan brainwash dalam waktu singkat dan terbukti berhasil, seperti kejadian teror yang menabrak orang-orang di Christmas market dengan truk dimana tidak ada latar belakang agama namun tetap berhasil melakukan aksi terror. Beliau mengapresiasi seminar bedah-buku ini agar kita mendengar diskusi lebih dalam lagi tentang Islam nusantara dan implementasinya, harapan beliau kegiatan promosi Islam Nusantara berikutnya, kita bisa mengundang lebih banyak kaum muda Muslim Jerman.
Seminar diawali dengan sedikit penjelasan tentang riwayat hidup Gus Syafiq yang mendapatkan gelar PhD-nya dari FU-Berlin. Selama masa hidupnya di Berlin 2009-2014, Gus Syafiq banyak mengabdi kepada PCINU Jerman. Beliau adalah Rais Syuriah pertama berikut salah satu pendiri PCINU Jerman. Sebenarnya tujuan utama Gus Syafiq bukan ke Berlin, tapi untuk menghadiri seminar tentang Al-Quran di Zentrum für Islamische Theologie di Universität Münster dengan tema Understandings of the Qur`an – Muslim researchers in dialogue. Tawaran Seminar oleh PCINU Jerman di Berlin dan rasa rindunya dengan Berlin lah yang mendorong beliau menyempatkan untuk kunjungan ke Berlin.
Istilah Islam Nusantara muncul banyak menimbulkan respon dari segala kalangan, meskipun sebenarnya istilah ini tidak baru. Pak Azyumardi juga menggunakan istilah ini pada judul bukunya. AD/ART PKS yang tebal juga menggunakan istilah Islam Nusantara. Paska kongres Bali juga digunakan istilahnya. Oleh para sejarawan, istilah ini juga digunakan namun dalam bahasa inggris (archipelago islam).
Namun, pada tahun 2015, setelah beberapa tahun digodok dan istilah ini muncul ke permukaan oleh NU, munculah berbagai tanggapan dan kontroversi. Artinya, memang sebagai organisasi, NU dianggap sebagai organisasi yang harus selalu diperhatikan karena NU adalah ormas yang besar. Menurut data atau survey terakhir, jumlah orang NU 48% dan jumlah muhammadiyah 8-9%. 48% termasuk orang yang ditanya secara sarkastik, seperti “shalat pake qunut atau tidak”; “suka tahlilan atau tidak”; dan lain sebagainya.
Isi Islam Nusantara secara teologis adalah yang dipraktekkan oleh NU dengan berkeyakinan tauhid mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jamaah (Imam Abu Hasan Asy’ari dan Imam Maturidi), bermadzhab mengikuti empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) terutama Syafi’i, dan dalam praktik tasawuf mengikuti apa yang dipraktekkan oleh Al-Ghazali. Inilah kerangka teologis dari isi islam nusantara. Jika dikatakan ini agama baru, mereka yang mengatakan tidak paham konteks dan isi yang sebenarnya.
Apa yg diurusi oleh Islam nusantara? Ulama biasa membagi urusan menjadi dua: qath’i dan dhanni. Qath’i adalah masalah fiqh atau syariat yang tidak bisa dirubah atau sudah pakem. Islam Nusantara tidak berbicara soal itu. Yang dibicarakan adalah aspek yang dhanni, yaitu aspek yang bisa berubah karena tuntutan zaman dan sebagainya.
Sebuah hukum itu berputar-putar karena alasan hukum. Misalnya, dulu orang bayar zakat fitrah, menurut Imam Syafii harus menggunakan makanan pokok. Untuk kita masyarakat yang tinggal di Berlin saat ini, bisa jadi menurut hukum Imam Syafi’i itu cara kita berzakat tidak sah semua, karena kini kita berzakat sudah cukup dengan transfer uang. Namun hukum itu dinamis. Ada wilayah dalam islam yang bisa diubah, seperti cara membayar zakat itu.
Mungkin saat ini karena urusannya politik, Islam Nusantara menjadi bulan-bulanan. Dalam artian, orang bisa berbicara apa saja tentang Islam Nusantara. Tetapi ini sudah menjadi resiko, karena NU termasuk organisasi yang besar dan juga banyaknya upaya-upaya memperebutkan suara NU. Di dalam buku tersebut penulis tidak hanya menjelaskan apa itu Islam Nusantara dan urgensi kemunculannya, tetapi beliau juga menjelaskan hal-hal yang nanti dihadapi Islam Nusantara. Seperti kebangkitan radikalisme islam dan agama-agama lainnya.
Salah satu hal yang bisa diusulkan Islam Nusantara adalah bagaimana menciptakan ketahanan pemeluk islam untuk memperkuat hubungan yang kuat antara kebudayaan dan keislaman itu sendiri. Beragama bukan saja hanya persoalan doktrinal, tetapi juga persoalan hidup yang lain. Seperti persoalan bertetangga; saling tolong menolong satu sama lain. Dalam konteks ini Islam Nusantara ingin menghadirkan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tanpa memandang agamanya apa, namun cukup memandang hubungan kemanusiaannya.
Dalam 10 tahun terakhir, terutama sejak 2014, persoalan seperti ini terus menggelinding. Beliau mengulang-ulang dan memperingati, bahwa politik itu sering membuat situasi menjadi ramai.