Islam tradisional, yang di negeri kita terwakili secara dominan oleh Nahdlatul Ulama, tidak pernah memiliki satu pandangan politik yang tunggal. Ini adalah pernyataan telak untuk menyangkal sebuah pandangan dari luar bahwa NU, misalnya, itu satu.
Islam tradisional, yang di negeri kita terwakili secara dominan oleh Nahdlatul Ulama, tidak pernah memiliki satu pandangan politik yang tunggal. Ini adalah pernyataan telak untuk menyangkal sebuah pandangan dari luar bahwa NU, misalnya, itu satu.
Dominasi Jawa dan NU ditambah dengan ditarik-tariknya Muhammadiyyah ke dalam poros Islam Nusantara, membuatnya semakin eksklusif dan semakin rawan digagal-fokusi.
Dikisahkan bahwa pada suatu saat ibu Imam Abu Hanifah (m. 150/767) bimbang perihal hukum suatu perkara. Mengetahui hal tersebut, Abu Hanifah yang dikenal sebagai pendiri madzhab fiqih Hanafi memberikan fatwanya (pandangan hukum). Namun, ibunya menolaknya, meragukan kebenaran pandangan putranya tersebut. Abu Hanifah tahu bahwa ibunya biasa menghadiri majlis ceramah Zur’ah. Lantas, ia mengantarkan ibunya untuk bertemu Zur’ah. “Ini ibuku. Ia ingin meminta fatwamu tentang suatu masalah,“ kata Abu Hanifah. Zur’ah pun terkaget dan berkata, “Wahai Abu Hanifah! Engkau lebih tahu dan lebih pakar daripada aku. Engkau saja yang memberi fatwa ibumu!” Abu Hanifah menjawab, “Aku sudah menyampaikan pendapatku. Namun, ibuku menolak hingga kamu memberikan fatwamu.” Zur’ah berkata kepada ibu Abu Hanifah, “Pendapatku sama dengan pendapat putramu.” Setelah mendengar jawaban tersebut, ibu Abu Hanifah baru menerima pendapat putranya.
Kalau dipikir ulang, saya heran juga mengapa di dalam buku terakhir saya tentang Sababun Nuzul Makro (2015), saya begitu percaya diri memprediksi bahwa tafsir kontekstualis akan meriah atau bahkan merajai diskursus tafsir al-Qur’an kontemporer, khususnya di Indonesia. Saat itu, selain karena saya harus menunjukkan optimisme dan mempertahankan ide-ide yang saya usung dalam naskah akademis di tingkat Magister, saya agaknya sudah terpukau dan bahkan terpengaruh dengan “cantik” dan “gagah”nya bangunan tafsir kontekstualis yang ditawarkan para pemikir seperti Fazlurrahman, Mohammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abu Zaid, Amina Wadud dan Khalid Abu al-Fadl.