Muslim di Ruang Publik Jerman
oleh: Burhan Ali
Ph.D. Candidate Albert Ludwigs University of Freiburg Germany
Keberadaan Muslim di Jerman merupakan satu obyek yang sangat menarik untuk dikaji. Pertama, negara ini merupakan tempat lahirnya gugusan gagasan, filsuf, pemikir, seniman, sehingga tak salah kalau ia disebut sebagai Land der Idee. Hasil karya ilmu pengetahuan dan teknologi Jerman memberi kontribusi besar pada peradaban dunia dan menjadikannya negara dengan ekonomi terbesar di Uni Eropa. Yang terbaru, hasil didikan Jerman menghasilkan ilmuwan sepasang suami istri Muslim keturunan Turki, Ugur Sahin dan Ozlem Tureci, yang menjadi salah satu pioner yang menemukan vaksin Covid-19, BioNtech. Kedua, Jerman merupakan negeri dengan tingkat populasi Muslim paling besar di Eropa setelah Perancis. Data terbaru dalam laporan berjudul Executive Summary of the study “Muslim Life in Germany 2020” yang diterbitkan oleh Federal Office for Migration and Refugees, Pemerintah Jerman menunjukkan sekitar 5,5 juta Muslim hidup di Jerman, atau 6,6 persen dari total penduduk Jerman. 2,5 juta di antaranya berlatar belakang Turki, yang dulu diundang sebagai pekerja (guestworker) untuk membangun Jerman pasca perang Dunia Kedua di tahun 1960-an. Komposisi penduduk Muslim di Jerman terutama berubah semenjak kedatangan gelombang imigran akibat Perang Suriah pada tahun 2015. Selain itu, imigran Muslim berdatangan dari Irak, Maroko, Mesir, Tunisia, beberapa negara di Eropa Tenggara seperti Kosovo dan Albania, dan negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Maka dalam keseharian di kota-kota besar di Jerman misalnya kita biasa menyaksikan perempuan-perempuan muslim berjilbab berlalu lalang di pusat perbelanjaan, di sekolah, dan rumah sakit. Mereka berprofesi sebagai pebisnis, dokter, guru, pegawai di klinik kesehatan, dan juga kasir di toko ritel dan supermarket. Mereka bekerja sebagai pegawai toko roti Heizmann maupun menjadi kasir di Penny, salah satu rantai supermarket terbesar di Jerman. Dilayani pekerja Muslim di Indonesia merupakan hal yang biasa, namun berbeda rasanya kalau guru TK anak-anak kita, penjaga kasir, perawat, asisten dokter adalah perempuan-perempuan berjilbab dengan kemampuan bahasa Jerman yang fasih. Ada keakraban di sana yang sulit untuk digambarkan. Berbeda juga rasanya ketika suara-suara yang anda dengar di tram, di supermarket, di perpustakaan, di taman, berupa sapaan assalamu’alaikum atau anak-anak muda dengan dandanan yang modis saling bersautan mengucapkan insyaalah atau wallahi. Atau ketika berbelanja di toko Amina yang menyediakan produk produk halal dan universitas yang menyediakan mushola yang membuat perasaan feeling at home, meskipun muslim masih menjadi minoritas.
Jaminan rasa keamanan dan kenyamanan ini tentu saja tidak terlepas dari proses demokratisasi yang terjadi pada ruang sosial politik di Jerman. Beberapa Muslim saat ini mulai terlibat sebagai pembuat undang-undang di Bundestag/DPR. Dua partai paling populer di kalangan Muslim adalah SPD dan partai Hijau. Beberapa anggota atau mantan anggota Bundestag, Parlemen Tertinggi Jerman, merupakan Muslim, atau berlatar belakang migran. Dari 735 anggota, 18 berlatar belakang Turki terpilih atau terpilih kembali pada pemilu parlemen 2021, sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Dua politikus perempuan Muslim bahkan aktif di Partai Kristen Demokrat (CDU), partainya Angela Merkel. Cemile Giousouf, perempuan muda yang pernah menjadi anggota Bundestag di periode sebelumnya dan Serap Guler, perempuan kritikus Erdogan, yang berhasil menjadi anggota legislatif di pemilu 2021.
Para anggota legislatif ini sebagian besar berasal SPD atau Partai Sosial Demokrat yang beraliran kiri tengah yang terutama populer di warga keturunan Turki. Meskipun dulunya merupakan partai buruh, SPD berkembang menjadi partai yang memerjuangkan demokrasi dan kesejahteraan sosial (Jerman merupakan salah satu negara dengan sistem kesejahteraan sosial terbaik di dunia). Selain itu, partai Hijau atau Green Party juga sangat popular terutama di kalangan anak muda Muslim karena kebijakan liberal dan posisi mereka yang pro-imigrasi. Saat ini setidaknya mereka memiliki lima anggota Bundestag berlatarbelakang Turki. Keberadaan Muslim dan yang berlatarbelakang imigran ini tentu akan membantu membuat kebijakan yang berpihak pada kaum Muslim sekaligus berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah social yang lebih luas di Jerman.
Untuk mewadahi perkembangan masyarakat Muslim yang cepat di Jerman, pemerintah Jerman juga mulai mendesain program pendidikan agar Islam lebih mudah dipahami dan bisa beradaptasi dengan masyarakat Jerman. Di luar studi Islam (Islamwissenschaft) yang sejak dulu berkembang di bawah studi Orientalism, pada tahun 2010, Kounsil Jerman untuk Sains dan Humaniora (Wissenschaftsrat) mulai menyediakan dukungan bagi pembukaan jurusan “studi- Islam” yang berorientasi teologis dari perspektif insider di beberapa universitas di Jerman. Institusi yang dikenal sebagai didukung oleh Kementerian Pendidikan Federal dan saat ini ada 4 pusat kajian teologi Islam (Zentrum fur Islamische Theologie) dalam jaringan universitas ternama di Jerman, yakni (a) Universitas Muenster & Universitas Berlin, (b) Universitas Osnabruck dan Universitas Tubingen, (c) Universitas Frankfurt dan Universitas Giessen/ Marburg, dan (d) Universitas Nurnberg dan Universitas Erlangen. Institusi ini memiliki dua jurusan: studi Islam dan pendidikan guru agama Islam, dan bertugas imam dan guru-guru yang akan disebarkan ke seluruh Jerman. Di SD Anne Frank di mana anak kami sekolah misalnya, saat ini diajarkan kelas Agama Islam dengan guru yang merupakan lulusan dari program ini.
Program-program tersebut sengaja dirancang oleh pemerintah Jerman untuk merespon kebutuhan pemahaman Islam yang lebih fair baik dari kaum muslim sendiri maupun non-muslim. Maraknya Islamophobia di masyarakat Jerman dan juga kecenderungan sebagian anak muda Muslim untuk memahami agama dalam perspektif yang sempit menjadi salah satu alasan mengapa program ini didirikan. Para calon imam masjid dan guru-guru agama Islam yang akan disiapkan untuk sekolah sekolah publik pada tingkat dasar dan menengah di Jerman ini dididik agar tidak hanya memahami ajaran Islam, melainkan juga mampu berintegrasi dengan nilai-nilai Jerman. Dalam program yang dijalankan dalam Bahasa Jerman ini, mereka dididik agar menjadi duta Islam yang damai karena mampu menyampaikan nilai-nilai kebaikan sebagai seorang Muslim juga sekaligus warga negara Jerman.