Diambil dari kitab al-Qaul al-Mufid fi Talkhish ‘Ilmi al-Aqaid
Bersama Ustaz Muhammad Nuruddin, di Bremen - 1 Juli 2025
Ketiga hukum ini sepatutnya dipahami oleh seorang pelajar, karena pemahaman terhadap banyak dari masalah-masalah akidah itu mengharuskan memahami hukum akal ini, seperti menetapkan wujud Allah ﷻ dan keberadaan-Nya sebagai wājib al-wujūd (wujud yang niscaya ada), begitu juga menetapkan mukjizat para nabi, dan penjelasan seputar hal-hal gaib, seperti malaikat, surga, neraka, dan selainnya. Begitu juga dengan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, seperti pertanyaan “Di mana Allah?”, “Siapa yang menciptakan Allah?”, “Mengapa ada keburukan di muka bumi?”, dan banyak lagi selainnya.
Pembahasan seputar ini telah kami tuliskan secara khusus di sebuah buku yang kami beri nama “Serial Ilmu Kalam: Seputar Ketuhanan” dalam Bahasa Indonesia, maka rujuklah kepada buku itu bila engkau mau.
Harus dibedakan antara hukum akal (rasio) dan hukum kebiasaan (empiris). Di antara hukum kebiasaan, contohnya: minum akan menghilangkan dahaga, makan akan menghilangkan lapar, api bersifat membakar, dll. Adapun hal-hal aneh yang disebutkan dalam kitab suci (contoh: Pemuda Aṣḥabul Kahfi tidur ratusan tahun, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak terbakar dalam api, Nabi ‘Isa ‘alaihissalam yang menghidupkan orang mati, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dapat berbicara dengan hewan, dll.) itu termasuk mustahil secara kebiasaan saja (empiris), namun mungkin secara akal (rasio). Adapun berita-berita gaib setelah kematian, dan lain-lain memang bersifat mungkin secara akal (bisa ada, bisa tiada), namun kita bisa meyakini keberadaan hal itu karena kabar tentangnya datang dari sumber yang terpercaya.
Pertanyaan yang diajukan mengenai Dzat Allah ﷻ, seperti “Di mana Allah?”, “Siapa yang menciptakan Allah?”, muncul dari kesalahpahaman tentang ketiga hukum akal ini. Pertanyaan tentang penciptaan Allah ﷻ telah salah dari awal, karena terciptanya sesuatu berarti terkait dengan sesuatu yang diadakan setelah didahului ketiadaan (disebut ḥādiṡ atau mungkin), sedangkan Allah ﷻ bukan Dzat yang mungkin (bisa ada, bisa tiada), melainkan Dzat yang "wājib al-wujūd".
Pembahasan Tentang Ketuhanan (Ilāhiyyāt)
Pada bab ini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan pencipta Yang Maha Agung, Allah ﷻ, seperti sifat-sifat wajib bagi-Nya, sifat-sifat mustahil, dan sifat-sifat yang mungkin. Dan di antara yang wajib bagi Tuhan kita ﷻ ada dua puluh sifat, yaitu wujūd (ada), qidam (tidak bermula), baqā`(tidak berakhir), mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk), qiyām bin-nafsi (berada dengan diri-Nya sendiri), waḥdāniyah (esa). Yang pertama (sifat wujūd) dinamai dengan ṣifat nafsiyyah (sifat diri), karena sifat itu hanya menunjuk pada Dzat, sementara sisanya (qidam, baqā`, mukhālafatu lil-ḥawādits, qiyām bin-nafsi, waḥdāniyah) dinamai dengan ṣifat salbiyyah (sifat negasi), karena sifat-sifat itu menafikan semua yang tidak layak bagi Allah ﷻ.
Dalam ilmu akidah, definisi istilah dzat yaitu sesuatu yang memiliki sifat, dan sifat adalah sesuatu yang berada pada dzat.
Sifat Allah ﷻ tidak terbatas pada 20 sifat, namun ini merupakan cara ulama untuk meringkas dan memudahkan dalam pengenalan dan pembelajaran, sebab sifat Allah ﷻ Yang Maha Sempurna tidak terbatas jumlahnya, tidak berujung dan tidak berhingga. Segala sifat kesempurnaan, keindahan, keagungan, semuanya wajib bagi Allah ﷻ. Adapun sifat yang 20 ini adalah sifat inti, yang apabila ini semua diimani, maka sifat-sifat yang lain akan diimani pula semuanya. Contohnya, Allah ﷻ bersifat Mahakuasa menunjukkan bahwa Allah lah yang memberi kasih sayang, menghidupkan, mematikan, memberi rezeki atau menyempitkannya, dll.
Ṣifat Nafsiyyah disebut sifat diri karena dia tidak memberi makna tambahan apapun kepada Dzat Tuhan, melainkan merupakan hakikat Dzat itu sendiri, penunjuk bahwa Dzat itu ada. Tanpa sifat wujūd, sesuatu tidak bisa disebut ada, dan karenanya tidak bisa memiliki sifat apa pun. Maka sifat wujūd adalah dasar dari semua sifat.
Ṣifat Salbiyyah disebut sifat negasi karena dia menafikan atau meniadakan segala hal yang tidak pantas bagi Allah ﷻ, seperti keserupaan-Nya dengan makhluk. Sifat ini dijelaskan dan dapat dipahami dengan menolak hal yang tidak mungkin bagi Allah ﷻ.
Kemudian disusul dengan sifat ma’ānī, yaitu sifat yang ada, yang berada pada Dzat Allah ﷻ. Sifat ini bukanlah dzat Allah itu sendiri (dari segi makna), dan bukan pula selainnya (dari sisi wujudnya), yang jumlahnya ada tujuh: Qudrah (Kuasa), Irādah (Kehendak), ‘Ilm (Pengetahuan), Ḥayāh (Kehidupan), Sam’ (Pendengaran), Baṣar (Penglihatan), Kalām (Pembicaraan). Dan tetapnya sifat-sifat ini konsekuensinya adalah tetapnya sifat-sifat yang lain, yang dinamai dengan sifat ma’nawiyyah, yaitu keberadaan-Nya ﷻ sebagai wujud yang Maha Kuasa, yang Maha Berkehendak, yang Maha Mengetahui, yang Maha Hidup, yang Maha Melihat, yang Maha Berbicara.
Ṣifat Ma’ānī (jamak dari kata ma’nā) yaitu sifat yang memberi makna (bukan menegasikan ketidakpantasan, tetapi menunjukkan) kesempurnaan, keindahan, dan keagungan bagi Allah, yang berada (inheren) pada Dzat Allah, dan keberadaannya terkait langsung dengan Dzat Allah ﷻ.
Dari sifat ma’ānī ini muncul ṣifat ma’nawiyyah, yaitu sifat-sifat yang menegaskan bahwa Allah benar-benar memiliki sifat tersebut. Jadi sifat ma’nawiyyah adalah penegasan atas berlakunya sifat ma’ānī bagi Allah ﷻ. Misalnya, Allah ﷻ memiliki Qudrah (Kuasa), maka Allah ﷻ disebut bersifat Qādir (Maha Berkuasa), dan sebagainya.
Sifat Allah ﷻ yang banyak ini tidak boleh dipahami bahwa ada sesuatu di luar Allah ﷻ yang menyertainya, tidak boleh pula dipahami bahwa Dzat Allah ﷻ terbagi-bagi. Semua sifat yang banyak itu berada pada Dzat-Nya yang Maha Esa, yang tidak bermula dan tidak bergantung pada apa pun. Sifat-sifat ini bukanlah esensi dzat-Nya sendiri (karena dzat dan sifat tetap dibedakan secara makna), tapi juga bukan sesuatu yang terpisah dari dzat-Nya (karena semua sifat itu melekat sempurna pada dzat Allah ﷻ yang Esa). Misalnya, ketika membahas tentang sifat kuasa, maka sifat kuasa ini bukanlah “Tuhan itu sendiri”, dari sisi maknanya (karena seandainya setiap sifat dianggap Tuhan, berarti Tuhan ada banyak, dan ini jelas mustahil), tapi juga tidak bisa diartikan sifat kuasa ini “di luar Tuhan” (karena sifat ini berada pada Dzat-Nya).

Sifat 20 dan al-Asmā`al-Ḥusnā
Penting diketahui, bahwa dalam pembahasan ilmu tauhid, para ulama membedakan antara ṣifat aż-żāt dan ṣifat al-af’āl.
- Ṣifat aż-żāt adalah sifat yang berada pada Dzat Allah dan ada dengan adanya Allah. Sifat ini selalu ada, tidak berubah dan tidak bergantung para terjadinya sesuatu di luar Dzat-Nya. Misalnya Allah memiliki sifat Qudrah (kuasa), artinya Allah selalu memiliki kuasa, baik sebelum menciptakan sesuatu maupun setelahnya, kekuasaan-Nya tidak berubah dan tidak terikat waktu.
- Adapun ṣifat al-af’āl adalah sifat yang berkaitan dengan perbuatan Allah terhadap makhluk, dan terkait dengan waktu atau kejadian tertentu. Sifat ini tampak melalui ciptaan, dan tidak selalu harus ada seperti sifat al-żāt. Misalnya, Allah menunjukkan sifat-Nya yaitu al-Khāliq (Yang Maha Menciptakan) melalui perbuatan-Nya dalam menciptakan alam semesta. Sebelum alam ada, belum ada ciptaan, tapi Allah tetap bersifat Qudrah (Kuasa, sebagai ṣifat al-żāt) tanpa ada perubahan. Contoh lain yaitu Allah memiliki sifat al-Muḥyī (Maha Menghidupkan) dan al-Mumīt (Maha Mematikan), yang Allah tunjukkan ketika Dia menghidupkan atau mematikan makhluk-Nya, begitu pula dengan nama-nama Allah yang kita ketahui dalam al-Asmā`al-Ḥusnā maupun yang kita tidak ketahui.
Sifat Wujud
Makna sifat wujud adalah kenyataan (taḥaqquq), dan makna keberadaan Allah sebagai dzat yang ada adalah bahwa Allah itu nyata pada diri-Nya sendiri, maksudnya bahwa Allahﷻ itu ada secara nyata, bukan hanya ide atau imajinasi manusia, sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang yang kurang pengetahuan dari kalangan ateis.
Sesuatu dikatakan wujud bukan karena terlihat atau terdeteksi secara indriawi atau metode empiris, melainkan karena dia memiliki kenyataan, sebagai sesuatu yang nyata. Misalnya, kita tidak perlu melihat pembuat pesawat terbang untuk mengetahui bahwa pembuatnya itu nyata, karena dampak perbuatannya terlihat, maka dapat disimpulkan bahwa ada yang membuat dampak tersebut. Maka wujudnya sesuatu tidak terikat pada bisa atau tidaknya dia dideteksi secara indriawi, namun dapat dipastikan dengan logika dan rasio, karena sesuatu yang keberadaannya dipastikan oleh akal (bukan sekedar ide dan imajinasi), bisa dikatakan nyata. Allah ﷻ dibuktikan dengan akal, bukan dengan indra yang terbatas.
Sebagian orang menuduh keberadaan Tuhan sebagai ide manusia saja, sehingga menyebut Tuhan itu ada banyak, masing-masing agama punya Tuhannya sendiri. Padahal, gambaran tentang wujud Tuhan tidak sama dengan wujud Tuhan. Wujud Tuhan itu bukanlah ide yang ada dalam imajinasi manusia, melainkan yang berada nyata dan berbeda dengan alam.
Dan adapun dalil wujud-Nya kukuh secara rasional (akal) maupun tekstual (wahyu). Adapun dalil secara rasional yaitu kebaruan alam semesta. Kita berkata alam itu baru (ada dari ketiadaan), dan segala sesuatu yang baru harus ada yang mengadakannya. Maka kesimpulannya, alam ini ada yang mengadakannya, dan dia adalah Allah ﷻ. Dan dalil secara teks wahyu ada banyak, di antaranya firman Allah ﷻ : “Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah” (QS. Muḥammad : 19)
Kita dapat mengatakan Allah itu ada, dalilnya adalah alam semesta.
- Alam semesta berawal dari ketiadaan.
- Segala sesuatu yang berawal dari ketiadaan, pasti ada yang mengadakannya.
- Kesimpulannya, alam semesta ini ada yang mengadakannya.
Yang mengadakannya ialah Allah ﷻ, Dzat yang wājib al-wujūd yang sifatnya berbeda dengan alam semesta.




