Diambil dari kitab al-Qaul al-Mufid fi Talkhish ‘Ilmi al-Aqaid
Bersama Ustaz Muhammad Nuruddin, di Bremen - 2 Juli 2025
Sifat Qidam
Sifat qidam artinya ketiadaan permulaan (tidak bermula), dan makna keberadaan Allah ﷻ sebagai Dzat yang qadīm bahwa wujud-Nya tidak punya permulaan dan tidak didahului oleh ketiadaan. Sifat qidam itu dikukuhkan oleh akal dan wahyu sekaligus. Karena apabila Allah ﷻ tidak qadīm, maka wujud-Nya akan butuh kepada yang lain. Maka konsekuensinya akan terjadi daur atau tasalsul, sedang keduanya tergolong mustahil tanpa ada keraguan, dan semua yang berakibat pada kemustahilan maka dia jelas kebatilannya.
Allah ﷻ berfirman: “Dia lah Yang Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zahir (Maha Tampak dengan kekuasaan-Nya), dan Maha Batin (Maha Tersembunyi hakikat-Nya). Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ḥadīd: 3)
Sifat qidam artinya ketidakbermulaan, dan dzat yang memiliki sifat qidam disebut Qadīm. Lawan dari sifat qidam disebut “hādiṡ”, atau baru, artinya memiliki awal. Alam semesta ini didahului oleh ketiadaan, maka disebut juga alam ini bersifat hādiṡ.
Daur (lingkaran setan) adalah saling ketergantungan melingkar antara dua hal, artinya sesuatu bergantung pada sesuatu lain yang pada gilirannya bergantung kembali pada hal pertama. Misalnya, A ada karena B, dan B ada karena A, maka A dan B saling membutuhkan untuk bisa ada. Daur ini mustahil karena A tidak bisa ada kecuali setelah ada B, dan B tidak bisa ada kecuali setelah ada A. Maka keduanya tidak akan pernah bisa ada karena saling menunggu satu sama lain.
Tasalsul (regresi infinit) adalah rangkaian sebab-akibat yang tidak pernah berhenti, atau rantai tak berujung ke belakang, artinya tidak ada sebab pertama. Misalnya, A ada karena B, B ada karena C, C ada karena D, dan seterusnya tanpa ujung (tak terhingga). Tasalsul ini mustahil karena kalau tidak ada sebab pertama yang berdiri sendiri, maka semuanya tergantung pada sesuatu yang juga tidak ada (tidak berujung), akibatnya tidak akan ada apa pun yang benar-benar ada.
Oleh karena penjelasan di atas, daur dan tasalsul ini ditolak oleh akal, maka kesimpulannya, bahwa Allah yang wājib al-wujūd ada berdiri sendiri, tanpa diawali apa pun.
Sifat Baqā`
Makna sifat baqā`adalah kekal, dan arti keberadaan Allah ﷻ bersifat baqā`ialah bahwa wujud-Nya tiada berakhir. Dan sifat baqā`itu dikukuhkan dengan akal dan wahyu sekaligus. Kalau Allah ﷻ itu tidak kekal, berarti dia musnah (fana), dan sesuatu yang musnah itu mungkin (mumkin al-wujūd), dan segala sesuatu yang mungkin itu butuh—dalam pengadaannya dan peniadaannya—kepada selainnya. Sedangkan kebutuhan itu menafikan ketuhanan secara pasti. Karena Tuhan (sesembahan) itu tidak bisa disebut sebagai Tuhan (yang berhak disembah) kecuali jika wujud-Nya dari diri-Nya sendiri.
Allah ﷻ berfirman: “Semua yang ada di atasnya (bumi) itu akan binasa. (Akan tetapi,) wajah (zat) Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Raḥmān: 26-27)
Allah ﷻ bersifat kekal secara absolut dari diri-Nya sendiri, tidak mengalami penuaan dan tidak memungkinkan kebinasaan. Sedangkan ruh makhluk, surga dan neraka, secara akal tidak wajib bersifat kekal, hanya mungkin kekal, dan sebagaimana yang kita ketahui dari riwayat, ruh, surga, dan neraka ini akan dikekalkan oleh Allah ﷻ. Dan hal yang dikekalkan ini selalu butuh kepada-Nya.
Sifat Mukhālafatu lil-Ḥawādiṡ
Sifat mukhālafatu lil-ḥawādiṡ artinya bahwa Allah ﷻ berbeda dengan semua makhluk, sebab Allah ﷻ bukan jisim (sesuatu yang tersusun dan memiliki ukuran) dan bukan pula ‘araḍ (aksiden, sifat yang melekat pada dzat). Dia tidak bertempat dan tidak terikat dengan waktu, karena semua itu (jisim, ‘araḍ, tempat, waktu) ḥādiṡ, sedangkan Allah ﷻ itu qadīm, tidak berada pada diri-Nya sesuatu yang ḥādiṡ. Adapun dalilnya secara akal bahwa seandainya Allah ﷻ itu tidak berbeda dengan makhluk, maka Dia menjadi ḥādiṡ seperti makhluk, sedangkan ini bertentangan dengan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya pada sifat qidam dan baqā`.
Dalil dari al-Qur’an: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Sebagian umat Islam ada yang beritikad bahwa Allah ﷻ bertempat di atas langit, berpindah-pindah, duduk, memiliki tangan, memiliki kaki, dan sebagainya, padahal keyakinan Ahlus-sunnah wal-jamā’ah adalah bahwa Allah ﷻ berbeda dengan makhluk, sesuai dengan firman-Nya.
Jisim artinya sesuatu yang tersusun dari bagian-bagian, memiliki volume atau ukuran, dan dapat menerima sifat. Contohnya manusia, batu, hewan, air, udara. Adapun ‘araḍ artinya sesuatu yang melekat berada pada dzat (jisim) dan tidak bisa berdiri sendiri. Contohnya ukuran, warna, gerak atau diam, dll.
Allah ﷻ tidak terdiri dari bagian-bagian, tidak bertempat, dan tidak terikat waktu, karena Dia bukan jisim. Karena kalau Tuhan itu jisim, maka Dia butuh tempat dan butuh terhadap bagian-bagian pembentuknya, sedangkan hal ini tidak mungkin. Selain itu, tempat dan waktu adalah sesuatu yang memiliki awal, bukan sesuatu yang azali. Sebelum Allah ﷻ menciptakan alam, tidak ada waktu dan tidak ada tempat, maka Allah ﷻ ada tanpa terikat waktu dan tanpa terikat tempat.
اللهُ لا يتصلُ بشيئٍ ولا ينفصلُ عنه شيئٌ
Allah ﷻ tidak bersambung dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak terpisah dari diri-Nya sesuatu apapun. Jadi jangan membayangkan Tuhan menyatu dengan makhluk, atau ada sesuatu yang terpisah dari Dzat Tuhan ketika Tuhan menciptakan sesuatu.
Sifat Qiyām bin-Nafsi
Berada pada diri-Nya sendiri, maknanya bahwa Allah ﷻ tidak butuh pada maḥall (sesuatu yang ditempati) serta tidak butuh pada mukhaṣṣiṣ (sebab yang mengkhususkan), dan yang dimaksud maḥall itu adalah dzat. Padahal Tuhan ﷻ bukan lah suatu sifat yang berada pada dzat, melainkan Dia adalah Dzat yang memiliki sifat-sifat. Adapun mukhaṣṣiṣ itu adalah murajjiḥ (sebab penguat) atau sebab, dan Allah ﷻ tidak butuh akan suatu sebab, karena Dia adalah wajib al-wujūd, yang wujud-Nya dari Dzat-Nya sendiri, bukan dari selain-Nya.
Dari sifat salbiyyah ini dipahami bahwa Allah ﷻ tidak bergantung pada selain-Nya. Berdiri pada diri-Nya sendiri ini maknanya ada 2:
- Allah ﷻ tidak butuh kepada sesuatu yang ditempati (maḥall / محلّ)
- Allah ﷻ tidak butuh kepada sebab yang mengkhususkan (mukhaṣṣiṣ / مُخَصِّص)
Maḥall adalah wadah, tempat, atau media di mana suatu sifat, bentuk, atau perubahan melekat atau terjadi. Contohnya: warna melekat pada benda, maka permukaan benda itu menjadi maḥall bagi warna.
Mukhaṣṣiṣ adalah sebab yang membuat sesuatu yang umum menjadi khusus, dengan kata lain, penentu spesifik. Contohnya: Kitab al-Qaul al-Mufīd disusun dengan ringkas dan tanpa istilah teknis yang berat. Dalam konteks ini, pertimbangan terhadap target audiens pemula berfungsi sebagai faktor yang mengkhususkan bentuk dan kedalaman pembahasan, layaknya mukhaṣṣiṣ dalam proses penyusunan isi. Dalam konteks penciptaan, suatu fenomena tidak terjadi kecuali ada penentu khusus, dan itulah mukhaṣṣiṣ.




