Diambil dari kitab al-Qaul al-Mufid fi Talkhish ‘Ilmi al-Aqaid
Bersama Ustaz Muhammad Nuruddin, di Bremen - 3 Juli 2025
Sifat ini juga dikuatkan oleh masing-masing dalil rasio dan kitab suci. Akal berkata bahwa kalau Allah ﷻ butuh pada maḥall, maka Dia menjadi sifat. Bagaimana bisa, sedangkan Dia adalah Dzat yang memiliki sifat?! Kemudian apabila Dia butuh pada murajjiḥ (sebab penguat), maka Dia menjadi ḥādiṡ sebagaimana makhluk. Sedangkan dalil yang pasti telah membuktikan bahwa Dia tidak bermula dan kekal.
Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ : “Wahai manusia, kamulah yang memerlukan Allah. Hanya Allah Yang Maha Kaya (tidak butuh kepada yang lain) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fāṭir: 15)
Allah ﷻ tidak butuh pada maḥall apapun, karena Dia bukanlah sebuah sifat yang bergantung pada suatu dzat, melainkan Dzat yang memiliki sifat.
Suatu yang terjadi dengan cara tertentu harus memiliki sebab penguat, sebab penguat ini disebut murajjiḥ. Contohnya, Ustaz Nuruddin terlahir di Indonesia, bukan di negara lain, padahal terlahir di mana pun potensinya sama-sama mungkin menurut akal. Dalam hal ini, dan semua fenomena alam semesta memiliki murajjiḥ, yaitu kehendak Allah ﷻ. Adapun Allah ﷻ tidak butuh murajjiḥ yang mengkhususkan karakter-Nya, karena Dia berada pada diri-Nya sendiri, tidak bergantung pada yang lain. Kalau Dia bergantung, maka Dia menjadi mungkin (contingent-being), sedangkan ini mustahil. Yang membuat-Nya ada, karena keberadaan-Nya tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak disebabkan oleh apa pun.
Sifat al-Waḥdāniyyah (Esa, tidak berbilang)
Sifat waḥdāniyyah maknanya tidak berbilang, dan makna Allah ﷻ sebagai Dzat yang Esa itu adalah tidak menerima keberbilangan, maka Dia Esa, tidak ada duanya dalam dzat-Nya, dalam sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Maka maknya waḥdāniyyah ini mencakup dzat, sifat, dan perbuatan. Adapun makna keberadaannya sebagai Dzat yang Esa dalam Dzat bahwa Dzat Allah ﷻ tidak diserupai oleh dzat yang lain, sebagaimana Dia tidak menerima keterbagian. Maka tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyerupai Dzat-Nya dari segala aspek. Dan Dzat Allah itu Esa, tidak terdiri dari bagian-bagian.
Adapun keesaan dalam sifat itu maknanya bahwa sifat Allah tidak diserupai oleh sifat makhluk, dan esa dalam sifat juga bermakna bahwa Allah tidak memiliki sifat berganda atau lebih dari jenis sifatnya, seperti halnya Dia punya dua kuasa atau dua kehendak misalnya. Dan esa dalam perbuatan maknanya bahwa semua perbuatan itu diciptakan oleh-Nya, dan tidak ada pencipta selain-Nya, sekalipun manusia itu mengupayakan perbuatannya secara lahiriah. Semua benda dalam alam semesta ini, dzatnya tersusun dari bagian-bagian, dan banyak dzat benda lain yang mirip dengannya, sedangkan hal ini berbeda dengan Allah ﷻ. Makna waḥdāniyah itu bahwa Allah ﷻ Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dalam tiga cakupannya:
1. Esa dalam dzat:
a. Dzat-Nya tidak terdiri dari bagian-bagian;
b. Dzat-Nya tidak diserupai oleh yang lain;
2. Esa dalam sifat:
a. Masing-masing sifat Allah ﷻ tidak berbilang (e.g. Kuasa Allah ﷻ hanya ada satu, meskipun objek yang dikuasainya ada banyak);
b. Sifat Allah ﷻ tidak diserupai oleh sifat makhluk;
3. Esa dalam perbuatan: Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta itu diciptakan oleh Allah ﷻ, tiada yang lain yang menciptakan perbuatan.
Semua hal, perubahan sifat alam, terjadinya fenomena alam, termasuk perbuatan manusia, yang baik maupun yang buruk, sejatinya adalah perbuatan (ciptaan) Allah ﷻ. Termasuk fenomena alam yang melanda, atau perbuatan maksiat manusia, juga secara hakikatnya adalah ciptaan Allah ﷻ. Karena kalau kita katakan bahwa Allah ﷻ hanya menciptakan yang baik, tapi tidak menciptakan yang buruk, berarti kuasa Tuhan tidak mutlak dan ada sesuatu selain Tuhan yang juga kuasa berbuat menciptakan sesuatu, sedangkan ini bertentangan dengan sifat Tuhan yang Esa.
Sifat esa itu kukuh dalam akal, sebab apabila Dia tidak esa, maka tidak akan ada sesuatu pun dari alam semesta disebabkan kelemahannya. Adapun al-Qur’an mengukuhkannya dalam ayat-ayat yang banyak, di antaranya firman Allah dalam surah al-Ikhlāṣ: “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu (yang semua makhluk butuh kepada-Nya). Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.’”, dan surah al-Ikhlāṣ ini adalah ringkasan yang memadai untuk ilmu tauhid.
Kalau ada lebih dari satu tuhan, sementara Tuhan wajib memiliki kehendak dan kuasa yang absolut, maka ada 2 skenario:
1. Mereka bertentangan kehendaknya satu sama lain, maka:
a. kalau salah satu menang, yang kalah berarti lemah → padahal Tuhan tidak mungkin lemah;
b. kalau keduanya tidak bisa mewujudkan kehendaknya karena sama kuatnya → keduanya lemah dan tidak layak disebut Tuhan;
2. Mereka sepakat satu sama lain, maka:
a. Salah satunya tidak menambah apapun terhadap yang lain → maka tuhan kedua menjadi tidak berguna dan sia-sia; atau
b. kalau keduanya berguna → keduanya bergantung pada kerja sama dan kekuasaannya tidak penuh;
Contohnya, kalau ada dua tuhan menguasai objek yang sama, misalnya matahari, maka yang satu ingin dia terbit, yang satu ingin dia tidak terbit, maka ini mustahil. Contoh lain, apabila dua tuhan menguasai objek yang berbeda, maka artinya kehendak mereka terbatas pada objek yang dikuasainya saja, dan kekuasaannya tidak absolut, maka tidak pantas dikatakan Tuhan. Maka semua skenario, di mana ada lebih dari satu Tuhan yang Maha Esa itu tidak diterima oleh akal.
Firman Allah ﷻ dalam al-Qur’an: “Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah, Tuhan pemilik ʻArasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiyā`: 22)
Sifat al-Qudrah (Kuasa)
Sifat al-Qudrah (kuasa) maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ yang dengannya Allah ﷻ mengadakan atau meniadakan segala makhluk-Nya. Adapun dalilnya bahwa seandainya Dia tidak mampu, maka Dia lemah, dan sifat kelemahan ini mustahil pada Allah ﷻ , karena adanya alam semesta ini, sedangkan wujudnya alam ini harus memiliki penguasa. Adapun ayat-ayat yang banyak di dalam al-Qur’an telah menunjukkan hal ini, di antaranya: “Katakanlah, ‘Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan (semua makhluk). Kemudian, Allah membuat kejadian yang akhir (setelah mati di akhirat kelak). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Al-‘Ankabūt: 20).
Hubungan Sifat Qudrah dan Perbuatan Manusia
Sering menjadi pertanyaan, kalau semua perbuatan itu ciptaan Allah ﷻ dengan kuasa-Nya, bagaimana dengan peran manusia? Analogi sederhana, bahwa ada seorang anak kecil yang ingin makan, namun dia tidak mampu makan dan minum tanpa disuapi, maka ayahnya yang memberikan makanan kepada si anak. Dalam analogi ini, anak berkeinginan untuk makan, namun ayahnya yang melakukan perbuatan memberi makan. Begitu pula, manusia tidak punya kuasa, melainkan Allah ﷻ lah yang menciptakan gerak dan diamnya manusia, sedangkan manusia hanya mengupayakan. Maka dapat disimpulkan juga bahwa ketika kita katakan Allah ﷻ lah yang menciptakan perbuatan manusia, itu tidak menafikan fakta bahwa manusia itu lah yang memilih dan mengupayakan pekerjaannya.
Dalam ilmu tauhid juga dikenal istilah kasb, yaitu upaya untuk melahirkan perbuatan. Ketika manusia memilih dan mengupayakan untuk berbuat sesuatu (misalnya seseorang berniat dan berupaya untuk shalat), Allah ﷻ lah yang menginginkan dan menciptakan perbuatan itu (Allah ﷻ menggerakkan anggota tubuhnya untuk shalat). Perbuatan ini pada lahiriahnya pada bahasa sehari-hari disebut sebagai perbuatan manusia, namun pada hakikatnya seluruhnya adalah perbuatan Allah ﷻ. Lahiriah dan hakikat ini tidak boleh dicampur aduk pemahamannya. Oleh karena Allah ﷻ berikan kebebasan manusia untuk memilih dan mengupayakan perbuatannya, maka pilihan dan upayanya ini yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir.
Ketika seorang muslim mengerti hakikat ini, maka manakala dia berucap “Lā ilāha illallāh”, maka dia paham bahwa Allah itu Esa dalam segala aspeknya. Manakala sadar bahwa semua kejadian dan perbuatan itu merupakan ciptaan Allah ﷻ, maka dia tidak akan gelisah ketika melihat hal yang tampak buruk, dan tidak menyombongkan diri ketika melakukan kebaikan, sekaligus merasa bertanggungjawab atas perbuatan yang diupayakannya.
Kalau Allah saja yang punya kuasa menyembuhkan, dan kekuatan penyembuhan itu bukan terletak pada obat, maka kenapa ketika sakit, tidak meminta kepada Allah saja, melainkan tetap berobat ke dokter? Jawabannya yaitu, bahwa manusia diperintahkan untuk menempuh sebab yang alami (الأخذ بالأسباب), seraya meyakini bahwa pada hakikatnya ialah Allah ﷻ yang memberikan kesembuhan. Allah ﷻ lah yang menyembuhkan melalui adanya obat, sementara obat tidak mampu memberikan efek penyembuhan dengan dirinya sendiri, melainkan Allah ﷻ lah yang memberi efek dengan Kuasa-Nya. Hubungan antara adanya obat dengan adanya penyembuhan itu hanyalah mungkin secara akal, bukan wajib, sehingga Allah ﷻ tidak butuh adanya obat untuk memberi efek penyembuhan, dan sebaliknya, Allah ﷻ tidak wajib memberi efek penyembuhan walaupun adanya obat.
Sifat al-Irādah (Kehendak)
Sifat al-Irādah (Kehendak) maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah yang dengannya Dia bisa mengkhususkan (menentukan) sesuatu dari kemungkinan-kemungkinan yang boleh terjadi. Contohnya seperti pengkhususan (penentuan) untuk mengadakan sesuatu di suatu tempat, bukan di tempat lain; pada waktu tertentu, bukan di waktu yang lain; dan pada suatu bentuk, bukan bentuk yang lain. Maka pengkhususan ini harus memiliki mukhaṣṣiṣ (sebab yang mengkhususkan), dan Dialah Allah dengan kehendak-Nya yang qadīm.
Adapun dalilnya bahwa kalau seandainya Allah itu tidak menghendaki, maka Dia dipaksa, dan itu bertentangan dengan ketuhanan. Karena Allah yang Maha Pencipta, yang telah menciptakan alam dengan bentuk yang kita lihat sekarang, haruslah Dia berbuat dengan kehendak, bukan dengan paksaan, karena paksaan itu meniscayakan adanya yang memaksa, sedangkan Allah Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya. Tidak ada sesuatupun yang memaksa Allah, melainkan justru segala sesuatu itu tunduk kepada-Nya.
Adapun dalil tetapnya sifat Iradah di dalam al-Qur’an ada banyak, di antaranya: “Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah (sesuatu) itu.” (QS. Yāsīn: 82)
Perbedaan sifat kehendak dan kuasa Allah ﷻ, yaitu Allah ﷻ dengan sifat kuasa-Nya itu mengadakan dan meniadakan, sedangkan dengan irādah-Nya itu mengkhususkan sesuatu yang umum atau menentukan suatu skenario dari banyak potensi yang mungkin secara akal. Tidak mungkin alam semesta yang sebegitu terukur dan teratur ini terjadi tanpa adanya kehendak dari yang mendesain alam ini.
Perbedaan Kehendak dan Ridha Allah
Ada perbedaan antara menghendaki dan meridhai. Menghendaki artinya mengkhususkan pilihan-pilihan tertentu, adapun meridhai artinya memberi pahala dan menerima. Sesuatu yang Allah kehendaki terjadi belum tentu Allah ridha. Contohnya, Tuhan tidak meridhai keburukan, tapi menghendaki keburukan, Tuhan juga tidak meridhai perbedaan agama, tapi menghendaki perbedaan agama, sebab Allah menghendaki kebebasan memilih bagi manusia dan juga menghendaki apa pun yang terjadi, dan atas pilihan manusia itulah Allah meridhai atau tidak. Maka dapat dipahami bahwa yang mengkhususkan (menentukan) segala sesuatu secara hakiki adalah Allah, adapun secara lahiriah, manusia yang mengupayakan.




