(Sabtu/ 26 Desember 2020) “Indonesia ada karena Keberagaman. Kalau tanpa keberagaman, tidak perlu ada Indonesia”. Begitulah kalimat pamungkas dari Alisa Wahid, putri pertama Gus Dur sekaligus satu di antara dua narasumber pada sarasehan virtual dalam rangka memperingati haul Gus Dur ke-11. Ning Alisa, begitu beliau akrab disapa, tidak sendirian. Ia ditemani Kiai nyentrik sekaligus budayawan yang juga pernah menjadi juru bicara Gus Dur semasa ia menjadi presiden, Kiai Zastrow al-Ngatawi.
Seakan tak mau kalah dengan Ning Alisa, Kiai Zastrow juga menutup presentasinya dengan metafora puitisnya, menjelaskan definisi pluralisme seorang Gus Dur yang seringkali disalah pahami. Yang diinginkan Gus Dur itu, kata Kiyai Sastro, adalah “Membiarkan dan menjaga mawar dan melati untuk tumbuh dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman sari, sehingga keharuman dan keindahannya bisa dinikmati orang banyak. Bukan mengubah mawar menjadi melati, karena itu adalah perbuatan naif, bodoh dan sia-sia”.
Dua pernyataan di atas hanyalah sebagian kecil dari percikan pemikiran Gus Dur yang Ning Alisa dan Kiai Zastrow ulas secara panjang lebar dalam forum ini. Berkali-kali keduanya menyisipkan pesan-pesan moral yang terinspirasi dari sosok Gus Dur dalam penjelasan-penjelasan yang disampaikan. Walhasil, acara yang berlangsung hampir tiga jam tersebut terasa berlalu sangat cepat bagi para mustami’in, khususnya Nahdhiyyin yang kangen Gus Dur.
Mengusung tema yang tak lazim (posisi Gus Dur sebagai cendekiawan yang doyan guyon), diskusi pemikiran Gus Dur ini diinisiasi oleh dua Pengurus Cabang Istimewas Nahdhatul Ulama’: di Jerman dan di Sudan. Rasa rindu akan Gus Dur dan keinginan yang kuat untuk menyelami pemikiran sang Guru Bangsa memotivasi kedua organisasi sayap NU di Eropa dan Afrika ini untuk turut menyemarakkan haul Gus Dur dengan cara yang tidak biasa.
Tema “canda Gus Dur” dipilih karena seperti kata Ning Alisa, Indonesia sedang darurat tertawa dengan banyaknya kaum “sumbu pendek” yang “baperan”, mudah tersinggung, dan gampang mengkafirkan orang. Lebih lanjut, Ning Alisa menyebut humor Gus Dur sebagian besarnya berisi kritik tajam kepada penguasa, pemuka agama, politisi atau siapapun yang menurutnya melanggar prinsip kemanusian. Melengkapi analisa Ning Alisa, Kiai Zastrow menyebutkan bahwa humor Gus Dur adalah gaya komunikasi khas Gus Dur yang beliau serap dari tradisi “gojlokan” di Pesantren. Gaya komunikasi ini secara konsisten digunakan Gus Dur untuk menyindir “seseorang” dengan sangat “kasar”, namun tanpa menyakiti hatinya.
Selain PCINU Jerman dan Sudan, PCINU lain (di antaranya Belanda Belgia, Turki, Maroko, dan Yaman) juga diundang dan dilibatkan. Diskusi ini berlangsung pada hari sabtu tanggal 26 Desember 2020, tepat pukul 8.30 waktu Jerman/9.30 waktu Sudan (14.30 WIB). Rangkaian acara dibuka dengan pembacaan pembacaan Yasin dan Tahlil, dan dilanjutkan dengan sambutan dari masing-masing Rais Syuriah PCINU Sudan (KH Dzakwanul Faqih) dan Rais Syuriah PCINU Jerman (KH Syaeful Fatah). Dalam sambutannya, Kiai Dzakwan menyebut Gus Dur sebagai seorang wali yang kata-katanya seringkali terbukti benar jauh setelah kata-kata itu diucapkan olehnya.
Di sisi lain, Kiai Syaeful menyebut Gus Dur sebagai pemain sepak bola yang sukses menjadi pelatih. Sebagai pribadi, semangat Gus Dur untuk “memanusiakan manusia” mendapat pengakuan. Sedang sebagai Bapak Bangsa, ia meninggalkan banyak nilai untuk Indonesia.
Dan di saat Nahdhiyyin di Indonesia, Eropa dan Afrika sibuk menggali warisan luhurnya lewat diskusi-diskusi berkelas, Gus Dur di alam sana tak kuasa menahan senyum, dan berseloroh juga pada akhirnya, “Ah… gitu aja kok repot”.