Saat ini, metode ilmiah adalah standar edukasi modern. Berbagai konklusi dari penelitian-penelitian ilmiah, selalu dikembalikan kepada metode ilmiah saat hasil-hasilnya diukur dalam skala kualitas. Setiap proses penelitian yang tidak mengikuti pola metode ilmiah, maka keabsahannya diragukan. Namun sebenarnya yang menjadi pertanyaan banyak pihak, terutama publik yang menjadi konsumen adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan metode ilmiah, dan bagaimana kemudian kita bisa mengetahui apakah sesuatu itu ilmiah atau tidak.
Metode ilmiah sebenarnya adalah sebuah proses, yang bersirkulasi. Yang dimaksud sirkulasi ini adalah setiap output dari proses ilmiah, akan menjadi input bagi proses ilmiah berikutnya. Dengan demikian, penelitian ilmiah sejatinya merupakan proses tanpa henti yang tak memiliki ujung.
Metode penelitian ilmiah diawali oleh dugaan atau hipotesa yang datang dari atau merupakan output dari penelitian sebelumnya. Dengan demikian, setiap dugaan yang berkarakter ilmiah, bukanlah imajinasi atau khayalan belaka, tetapi memiliki landasan fakta yang kuat. Langkah selanjutnya adalah menguji hipotesa atau dugaan tersebut, lewat proses analitis lewat pemodelan matematis, perhitungan dan simulasi computer, maupun penelitian di laboratorium. Setiap hasil-hasil dari pengujian ini kemudian diobservasi dan menjadi data. Data merupakan ‘komoditas’ ilmiah yang paling berharga, karena data adalah representasi fakta. Kontras dengan pengetahuan publik yang sering menjadi diskusi saat ini ini terutama di media sosial, data sering disangka atau diaksentuasi sebagai fakta, dan merupakan kesimpulan ilmiah. Padahal data hanyalah ‘raw material’ yang merupakan hasil dari pengamatan dan belum menjadi kesimpulan, serta sebagaimana disebutkan sebelumnya, hanyalah merupakan representasi dari fakta dan bukan merupakan fakta.
Data ‘raw’ ini kemudian harus masuk ke dalam proses Analisa. Dalam proses Analisa data, biasanya ada juga proses pre-analisis yakni memproses data untuk membersihkan data dari faktor-faktor yang tidak relevan dengan pertanyaan ilmiah dari hipotesa. Contohnya adalah membuang ‘noise’ yang tidak memenuhi syarat dan kondisi statistika yang diduga, maupun data yang tidak konsisten dengan kewajaran. Semisal, dalam penelitian tentang kesehatan anak muda, bila data yang dicari adalah individu berusia muda baik bergender pria ataupun wanita, maka tentunya bila ditemukan dalam kuesioner digital ada input dari seseorang yang berusia 50 tahun, maka data tersebut tidak bisa dipakai. Kecuali bila dalam desain penelitian tersebut, data individu yang berusia lanjut memang diperlukan sebagai pembanding. Demikian pula dalam konteks yang lebih abstrak dalam proses Analisa lanjut, bila sebuah dataset ditemukan memiliki banyak kekosongan atau ‚missing value‘, maka data tersebut bila memungkinkan harus dimodelkan dalam distribusi tertentu, atau bila tidak mungkin maka harus dibuang karena hanya akan menghasilkan bias statistik yang memberi hasil yang tidak optimal.
Setelah Data diolah dan dianalisa, hasil-hasil atau ‘outcome’ ini kemudian juga tidak bisa langsung dikatakan sebagai kesimpulan akhir. Karena hasil Analisa data, harus melewati proses interpretasi atau penafsiran terlebih dahulu. Dan di sini, interpretasi hanya bisa dilakukan oleh individu yang memiliki kepakaran atau menjadi otoritas dalam bidang tersebut. Contohnya dalam penelitian ilmiah di bidang Fisika, maka yang sanggup memberi interpretasi secara terbaik, hanyalah mereka yang menguasai bidang Fisika, dan bukan bidang sosial dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya, akan sangat sulit bagi seorang yang selama hidupnya hanya belajar Fisika, untuk kemudian melakukan interpretasi hasil penelitian di bidang Sosial. Sebagaimana juga seorang sarjana Elektro tidak akan mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan dalam bidang agama, dan seterusnya.
Karena itulah, dalam proses pendidikan, penelitian dan komunikasi hasil penelitian ilmiah, hal-hal di atas harus dipahami dengan benar. Kegagalan dalam memahami dan menjalani proses berpikir secara ilmiah dengan memenuhi metodenya yang standar, akan berakibat pada kesalahpahaman dan berujung pada kurang-tepatnya tindakan. Maka kita sepantasnya belajar lebih banyak dan lebih baik lagi agar tak lagi salah dalam membaca sebuah hasil ilmiah dan bisa memanfaatkan hasil-hasil tersebut secara optimal.
Oleh:
Wahyu Wijaya Hadiwikarta