Bisa dibilang, ber-"Tawassul" telah mendarah-daging dalam ritual keagamaan Nahdhiyyin. Sebelum membaca Yasin dan melaksanakan tahlil-an, terlebih dahulu dibacakan Surat al-Fatihah sebagai bentuk Tawassul pada para Nabi, sahabat-sahabatnya, serta pada orang-orang solih. Selain itu, praktik penyebutan "wasilah" ini sering disisipkan pada doa-doa yang dilafalkan.
Secara teoretis, Tawassul juga mendasari praktik Ziyarah Kubur yang sering dilakukan Nahdhiyyin menjelang hari-hari penting, karena di dalam proses ziyarah tersebut, mereka tidak hanya mendoakan orang yang telah mati, tetapi juga mengenang kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan.
al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani (1944-2004) menjelaskan dalam kitabnya, Mafahim Yajib an Tusahhah (pemahaman-pemahaman yang harus diluruskan), empat asumsi dasar yang seyogyanya dipahami oleh baik pengamal maupun peng-kritik "tawassul".
Pertama, Tawassul hanyalah satu dari sekian banyak cara untuk berdoa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Penting dicatat, bahwa tujuan utama setiap doa adalah Allah SWT, sementara seseorang atau sesuatu yang di-"tawassul"i hanyalah "perantara" agar si pen-doa merasa lebih dekat dengan-Nya.
Prinsip pertama ini berkaitan dengan prinsip kedua, yaitu bahwa tawassul bukanlah sesuatu yang wajib dan musti ada.
Jawaban atas doa setiap muslim tidak tergantung pada siapa atau apa yang dijadikan "wasilah", melainkan pada rahmat Allah SWT. Jika seorang yang ber-tawassul meyakini bahwa seseorang atau sesuatu yang di-tawassul-i mampu mendatangkan manfaat atau petaka untuk dirinya, atau jika ia meyakini bahwa diterima atau tidaknya doanya oleh Allah SWT bergantung pada "wasilah" yang ia gunakan, maka orang tersebut sejatinya telah menyekutukan Allah SWT. Kebergantungan hanya pada Tuhan ini adalah prinsip ketiga.
Di banyak ayat dalam al-Qur'an, Allah mensifati diri-Nya sebagai dzat yang senantiasa mendengar dan merespon setiap doa hamba-Nya. Di antaranya dalam QS al-Baqarah: 186 sebagai berikut:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentangKu, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)Ku dan beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran".
Juga di dalam QS: al-Isra': 110:
قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًا
"Katakanlah (Muhammad), "Serulah Allah atau serulah al-Rahman". dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena dia mempunyai nama-nama yang terbaik. Dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam Solat dan jangan (pula) merendahkannya, dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu".
Prinsip keempat dalam ber-tawassul adalah adanya kecintaan terhadap sesuatu atau seseorang yang dijadikan "wasilah" dan keyakinan bahwa Allah SWT mencintainya. Jika tidak, maka tawassul ini justru akan menjauhkan seseorang dari yang ia tuju, yaitu Allah SWT.
Tawassul jika dipahami dengan benar, bukanlah bentuk perilaku Shirk terhadap Allah. Sebaliknya, ia adalah salah satu bentuk upaya seorang hamba untuk semakin mendekatkan dirinya kepada satu-satunya dzat yang berhak disembah.
Oleh: Muammar Zayn Qadafy