Hal ketiga yang berkaitan dengan permasalahan tawassul adalah hakikat ruh dan kehidupan setelah kematian. Menurut Ulama' Ahl al-Sunnah, seorang yang sudah meninggal itu bisa mendengar dan merasa. Ia juga masih bisa berbahagia sebab kebaikan-kebaikan dan bersedih sebab kejelekan tertentu.
Rumus ini berlaku untuk ruh semua manusia. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadith, saat perang Bard, Rasulullah SAW memanggil nama-nama orang kafir yang tewas di pertempuran tersebut. Ketika ditanya mengapa ia melakukan itu, Muhammad SAW menjawab: "orang-orang yang sudah meninggal itu lebih bisa mendengar dari kalian, hanya saja mereka tidak bisa menjawab".
Jika demikian adalah yang terjadi pada setiap manusia, maka Ruh Nabi Muhammad sebagai makhluk yang paling mulia tentu saja lebih bisa merasakan dan lebih peka. Ini dikuatkan oleh hadith-hadith lain tentang bagaimana Ruh Muhammad SAW menjawab salam, mengetahui amal perbuatan umatnya yang dibentangkan di hadapannya, meminta ampun atas kesalahan dan dosa-dosa mereka serta terus memuji Allah ketika melihat kebaikan-kebaikan yang dilakukan umatnya.
Dalil-dalil ini membantah pandangan kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW tidak bisa mendengar, melihat, mengetahui dan mendoakan umatnya pada Allah (setelah ia wafat). Hal yang sama juga berlaku untuk para wali, para shuhada', ulama', serta orang-orang salih yang telah mendahului kita. Jasad mereka memang telah meninggal, tetapi ruh mereka masih hidup.
Sebagaimana yang disebut dalam QS. al-Baqarah: 154, berikut:
وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ
(dan janganlah kalian menyebut mereka-mereka yang terbunuh di jalan Allah telah meninggal (sepenuhnya). Tetapi mereka hidup, hanya saja kalian tidak menyadarinya).
Disarikan dari Kitab Mafahim Yajib an Tusahhah (pemahaman-pemahaman yang harus diluruskan), karya al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani (1944-2004).