Penulis: Zacky Khairul Umam, mahasiswa PhD Islamwissenschaft, Freie Universitaet Berlin
Setelah menyelesaikan pendidikan di Baghdad, Gus Dur bertolak ke Eropa pada 1970. Jerman adalah tujuannya. Awal mulanya Gus Dur ingin mendalami kajian klasik dengan persyaratan bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin dengan pengantar bahasa Jerman. Hanya Bahasa Arab saja yang sudah ia kuasai sungguh-sungguh. Ia tak bisa memenuhi persyaratan itu. Mungkin jika ia mengambil program studi Arab dan Islam, ceritanya lain. Tapi karena hal itu, akhirnya ia bertolak ke Belanda hingga 1971. Selama tinggal di Eropa Gus Dur ikut memelopori berdirinya Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME) di Den Haag bersama kawan-kawannya, termasuk Kyai Hanbali yang pernah menimba ilmu bersamanya di Kairo. Bagian terbesar dari perkumpulan ini diisi oleh kader Nahdliyyin. Sejarah perkembangan dan jaringan PPME sendiri sudah ditulis oleh Dr. Sujadi untuk mempertahankan gelar doktoralnya di Leiden.
Hingga 2005, Muslim Indonesia dan Asia Tenggara umumnya masih bisa bersatu dalam wadah PPME, setidaknya dalam level paguyuban. Namun seiring dengan menjamurnya pengaruh gerakan Salafi-Wahabi, seperti bisa kita perhatikan dalam perkumpulan tersebut di Amsterdam, friksi bermunculan. Sekelompok jamaah yang tidak memegang teguh tradisi ala NU memutuskan untuk keluar. Ini mengingatkan kita pada cerita kaum khawarij yang keluar dari konsensus politik dalam masa Islam awal. Tapi tidak sekonyong-konyong Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU terbentuk. Secara institusional, NU di Eropa belum terbentuk secara masif hingga 2010. Jadi, sejak 1971 atau masa sebelumnya hingga 2010, setidaknya secara kultural warga Nahdliyyin sudah ikut mengisi berbagai kegiatan di beberapa titik di Eropa dalam ruang lingkup yang terbatas, jika bukan tidak ada sama sekali.
Meski NU di Eropa secara kelembagaan sudah bergeliat sebelum 2010, namun eksistensinya mulai tampak dan berdiri kokoh setelah tahun itu. Jerman, Prancis, Inggris, Belanda, Belgia, hingga Rusia dan Spanyol sudah membentuk PCI NU atau perkumpulan warga Nahdliyyin secara resmi. Kendati, tidak semua perkumpulan ini mengantongi surat keputusan resmi dari Pengurus Besar NU di Kramat Raya. Terpenting, niat dan tekad sudah ditancapkan untuk melestarikan tradisi Islam Nusantara dengan semangat kemajuan terkini. Mungkin hanya PCI NU Belanda yang belakangan menjadi spesial di mata Kramat Raya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena ceruk Nahdliyyin terbesar ada di negeri kincir angin ini. Boleh dikata, setidaknya melalui kesepakatan tak tertulis, PCI NU Belanda berperan sebagai ketua dari NU se-Eropa.
Pada perhelatan akbar 2015, disusul 2017, dan mungkin akan diulang saban dwi-tahunan, yang diselenggarakan di Den Haag dan Amsterdam menjadi tolak ukur kesuksesan kawan-kawan Belanda dalam mengumpulkan kader Nahdlyin se-Eropa. Bahkan mahasiswa dari kawasan Mediterania hadir, sebagian besarnya diwakili oleh kawan-kawan Maroko. Penulis pada perhelatan 2015 itu mengusulkan untuk membentuk Aliansi Eropa-Mediterania, karena selama ratusan tahuan sebetulnya Eropa tak bisa dilepaskan perannya dari geopolitik di kawasan Mediterania. Mudahnya akses informasi di zaman Facebook dan Twitter dewasa ini semakin memudahkan jalur komunikasi dan silaturahmi. Tak saja sekawasan Eropa, tetapi juga seluruh dunia. Tapi pertemuan fisik antara kawan-kawan di Eropa dan Mediterania tentu saja menjadi sorotan utama: mereka semakin erat berhubungan melalui media sosial.
Memiliki banyak ahli fikih dan teologi, PCI NU Maroko menjadi langganan sebagai pembicara dan pembahas persoalan fikih dan keagamaan umumnya yang datang dari masyarakat Muslim Indonesia di Eropa. Mereka kerap diundang ke berbagai tempat di Belanda, kadang kala ke negara lainnya. Sedikit demi sedikit, mengandalkan penghulu agama dari NU kian berkembang. Pengajian-pengajian khas tradisi NU pun semakin marak. Kita bisa menghitungnya di London, Amsterdam, Paris, Berlin, dan kota-kota lainnya di seantero Eropa Barat. Ini hal yang patut disyukuri, sebab anak-anak muda NU tidak menyembunyikan identitasnya. Berkebalikan dengan ini, biasanya mereka yang berafiliasi ke gerakan Salafi dan tarbiyah memiliki nama samaran lain dan mengatasnamakan Islam secara umum, meskipun kadang kala banyak sekali segi keislaman di dalamnya dikemas dalam ruang yang eksklusif. Coba saja perhatikan bagaimana dakwah NU dari London hingga Konya di Turki dikembangkan. Kader-kader muda NU tak pernah surut menonjolkan simbolnya. Sama seperti kader PCI Muhammadiyah di Eropa, yang tampaknya kurang bergeliat seperti PCI NU belakangan ini, mereka berdakwah secara terbuka tanpa menyembunyikan identitas. Itu merupakan cerminan dari tanah air: NU dan Muhammadiyah adalah pilar terdepan dari ummatan wasatan yang tak pernah malu menyebut nama.
Muslim Turki di Jerman memiliki Ditib, singkatan dari Diyanet İşleri Türk İslam Birliği, yang hingga kini menjadi organisasi Muslim Turki terbesar di Jerman. Pusatnya di Koeln. Ia merupakan wakil resmi pemerintahan Turki di luar negaranya untuk urusan keagamaan. Khatib sekaligus imam yang membawakan pesan-pesan keagamaan resmi dikirim langsung dari Turki, sebuah sistem yang bisa kita gali dari warisan zaman Usmani. Tentu saja banyak organisasi dan jaringan Muslim Turki atau diaspora lainnya. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa NU di Eropa tidak atau belum berperan seperti Ditib. Kawan-kawan Nahdliyyin di kawasan ini lebih banyak bekerja secara sukarela. Tidak ada pengiriman resmi dari Indonesia. Seringkali, iuran kas dan pengeluarannya ditanggung masing-masing jamaah. Meskipun struktur dan otoritas NU seperti Katholik, tapi dalam hal pelaksanaannya di Eropa ia serupa Protestan. Kemandirian diusung. Semangat berdikari ala Bung Karno menjadi tumpuan dari tegaknya jam’iyyah atau kelembagaan. Bahkan di antara mahasiswa yang masih mengandalkan dari beasiswa, mereka ikut menyumbang dan berkiprah sesuai dengan kemampuan. Etos ini perlu dijaga. Kita tidak perlu mengandalkan sesuatu yang datang dari jauh untuk dikucurkan. Justru kita perlu belajar kembali bagaimana tradisi filantropis dalam sejarah Islam berkembang dan justru menopang kebudayaan Islam itu sendiri. Pelan tapi pasti kita perlu belajar dari Muhammadiyah tentang etos kemandirian ini yang diterjemahkan dalam berbagai bidang pendidikan dan kesehatan.
Aspek filantropis itu bukan saja soal bagaimana kita harus mendirikan mesjid sendiri, seperti di Amsterdam dan Brussels, dan beberapa inspirasi dari Berlin misalnya, tetapi juga seberapa jauh kita mampu menyumbang untuk kemanusiaan. Beberapa kali kita pernah menyumbang untuk krisis kemanusiaan. Ada satu contoh lain yang perlu ditiru. Yakni, Indonesia fuer Deutschland, disingkat menjadi IfD, secara simbolik merupakan politik resistensi dari AfD, Alternativ fuer Deutschland, sebuah partai sayap kanan di Jerman yang belakangan ini mendapatkan porsi yang lumayan di parlemen. Inisiatif dari Hendra Arifin, seorang Nahdliyyin profesional di Berlin, IfD sudah berhasil dicanangkan. Sekali mengadakan eksperimen sosial dengan anak-anak belia dan remaja Indonesia sebagai pesertanya. Mereka memberikan bantuan sosial untuk para warga Jerman yang tuna-wisma dan pada hakikatnya tuna-kuasa yang terpinggirkan. IfD pada intinya membantu mengembangkan ajaran keagamaan untuk membantu kaum mustadl’afin. Ke depan, gerakan atomis di Berlin ini akan terus ditingkatkan. Tentu saja dalam level lebih luas, aspek filantropis akan diarahkan pada bagaimana kader NU menjadi himpunan yang memberikan manfaat luas bagi problem kemanusiaan di Jerman atau Eropa secara umum. Ini harus dipikirkan lebih jauh, sebab kita harus menghitung berbagai sumber daya manusia yang ada. Para profesional pakar teknologi, pebisnis, dan wiraswasta lain berlatar belakang nahdliyyin sebetulnya bisa dikumpulkan. Jika harus, mereka secara spesifik sebaiknya didata dan dipersatukan agar banyak kita terikat secara kuat di seantero Eropa. Dalam sebuah nazam ala santri mengenai kumpulan huruf ikhfa’ berbunyi: ṣif dā thanā kam jāda shakhṣun qad samā/dum ṭayyiban zid fī tuqan ḍaʿ ẓālimā. Untuk bersatu itu, ini prinsip yang perlu dipegang: “Bersatu berbarislah bersama orang-orang terpuji, betapa banyak karena kemurahannya orang mencapai martabat tinggi, teruskan menebar kebaikan dan tambahkan ketakwaan, lalu taklukkan orang/rezim yang zalim.”
Ada analogi lain yang menarik dari Jerman. Seorang pegawai imigrasi Jerman memberi pertanyaan mengapa hanya sedikit mahasiswa Indonesia yang menetap di Jerman untuk berkarier dan hidup. Padahal, kata si pegawai itu, mahasiswa Indonesia rata-rata pintar dan hampir tidak mempunyai masalah sebagaimana ‘imigran’ lain. Sayangnya, setelah menyelesaikan kuliah, mereka lebih memilih pulang atau pindah ke negara lain. Jerman justru membutuhkan darah muda ini. Inilah realitasnya: sedikit dari kita yang mau tinggal di Eropa. Jerman sendiri, melalui kebijakan Merkel yang kontroversial, menerima imigran dari Timur Tengah untuk menutupi defisit sumber daya manusia beberapa dekade mendatang. Jika ada sekelompok mahasiswa nahdliyyin berminat untuk mengembangkan kariernya di Jerman atau negeri Eropa lainnya, bukankah ini akan menjadi energi tersendiri buat NU? Jadi, kita memang membutuhkan orang seperti Hendra Arifin dan Bram Fernandin, pemilik Restoran Nusantara di Berlin, untuk semakin menghidupkan gairah gerakan NU ala Eropa. Siapkah kita?
*Artikel ini bagian dari artikel panjang saya “Melebur Hijau ke dalam Biru” yang dimuat di buku NU Penjaga NKRI (Ed. Iip Yahya, Kanisius, 2018)