Tidak ada perbedaan di kalangan ulama' mengenai dibolehkannya menjadikan "perbuatan-perbuatan baik" sebagai perantara (wasilah) untuk mendekat kepada Allah SWT. Puasa, bacaan Qur'an atau sedekah seorang mukmin bisa di-tawassul-i agar Allah berkenan mengabulkan apa yang menjadi hajatnya.
Dalil perilaku ini adalah hadith yang masyhur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Salah seorang dari mereka lalu ber-tawassul dengan pengabdiannya pada kedua orang tuanya. Orang kedua ber-tawassul dengan "usahanya selama ini untuk menjauhi kema'siyatan". Sedang orang ketiga betr-tawassul dengan sifat tanggung jawab yang ia miliki dalam menjaga dan menggunakan hartanya di jalan Allah. Berkat rahmat Allah, dan lantaran amalan-amalan baik tersebut, gua mereka terbuka dan ketiga orang tersebut bebas.
Yang jadi perdebatan di antara ulama' adalah kebolehan "tawassul" pada selain perbuatan baik, khususnya tawassul pada diri (dzat) orang-orang tertentu, misalnya pada Nabi Muhammad SAW, Abu Bakr al-Siddiq, Umar Ibn Khattab atau sahabat Nabi yang lain. Ada yang membolehkan praktik semacam ini dan ada yang melarangnya.
Ulama'-Ulama' NU cenderung condong pada pandangan yang membolehkan. Alasannya, ber-tawassul pada orang-orang solih ini pada hakikatnya adalah ber-tawassul pada perbuatan-perbuatan baik yang mereka miliki serta sifat-sifat mulia yang melekat pada diri mereka.
Ketika seorang Mukmin bertawassul pada dzat Nabi Muhammad SAW (seperti pada Sholawat Nariyyah misalnya), ia pasti mengakui dengan sepenuh hati bahwa Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya makhluk di sisi Allah SWT yang terjaga perbuatan dan perilakunya dari hal-hal yang tidak terpuji. Di atas segalanya, si Mukmin meyakini bahwa Rasulullah SAW dicintai oleh Allah SWT.
Perlu dicatat, Sighah (perkatan) semacam ini tidak harus dilafalkan dengan jelas (di-tasrih), melainkan cukup diyakini dalam hati saja, karena tidak ada sesuatu yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Sehingga, perkataan seorang mukmin, "Ya Allah, aku bertawassul dengan Nabi-Mu agar lebih dekat kepada-Mu", dengan perkataannya yang lain, "Ya Allah, aku bertawassul dengan cintaku pada Nabi-Mu, agar lebih dekat kepadaMu" memiliki makna yang sama.
Dalil amaliyah "tawassul" ini adalah QS. al-Ma'idah: 35:
يا أيها الذين امنوا اتقوا الله و ابتغوا إليه الوسيلة
"Wahai orang-orang yang Beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekat kepadaNya"
Wasilah adalah segala hal yang menjadi perantara seorang mukmin untuk mendekat kepada Allah dan untuk terkabulnya hajat-hajatnya. Lafadz Wasilah di sini bermakna umum, mencakup di dalamnya prosesi "tawassul" terhadap diri orang-orang solih, baik semasa mereka hidup maupun setelah mereka meninggal. Ia juga mencakup amalan-amalan solih sebagaimana yang sudah dijelaskan dalilnya sebelumnya.
Oleh: Mu'ammar Zayn Qadafy
Disarikan dari Kitab Mafahim Yajib an Tusahhah (pemahaman-pemahaman yang harus diluruskan), karya al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani (1944-2004).