Penulis: Al
Minggu, 23 Juni 2019, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Jerman bekerjasama dengan KBRI Berlin menyelenggarakan bincang santai dengan mengangkat tema Menjaga Kebhinekaan. Acara yang dilaksanakan di Aula KBRI Berlin menghadirkan putri sulung Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid sebagai pembicara. Kunjungan Yenni Wahid sendiri ke jerman salah satunya adalah upaya dari Indonesia untuk mengajukan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiya mendapatkan penghargaan Nobel perdamaian.
Acara yang dihadiri tidak hanya masyarakat Indonesia yang menetap di Berlin, namun juga dari beberapa kota lain di jerman, diawali dengan sambutan dari ketua Rais Syuriah PCINU Jerman K.H Syaeful Fatah. Dalam sambutannya, Fatah secara umum menyampaikan ucapan terimakasih kepada KBRI Jerman dan juga peserta yang hadir atas terselengaranya kegiatan tersebut.
Bincang santai ini juga dihadiri oleh Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, yang sekaligus memandu acara sebagai moderator. Mengaitkan dengan tema yang diangkat, dalam pandangannya, Oegroseno menjelaskan terkait gelombang esktrim kanan yang terjadi di Eropa. “Di Jerman dan Eropa ada gelombang baru Ekstrim kanan yang menjadi faktor yang cukup menghawatirkan di pemerintahan jerman sendiri. Memang pendulum ke arah ekstrim kanan terjadi di Eropa, dan kita harapkan tidak terjadi di Indonesia“.
Yenni Wahid, yang juga salah satu pendiri Wahid Foundation, mengawali seminar dengan menggambarkan dinamika masyarakat Indonesia paska pilpres dan pemilu serentak. Menurutnya banyak informasi di media sosial terkait pilpres yang belum jelas sumber kebenarannya yang dapat menimbulkan keterbelahan di masyarakat. “Problemnya adalah kita belum cukup menumbuhkan imunitas digital, sehingga kita bisa melihat ini (berita) benar atau tidak“ begitu tuturnya. Yenni juga menambahkan untuk menerapkan pola berfikri kritis. “Anak – anak kita harus diubah cara belajarnya. Kedepan harus diajari bahwa apa yang mereka lihat belum tentu betul. Mereka harus diajari untuk selalu mempertanyakan sumber keabsahan suatu hal yang mereka terima“.
Selain itu, Yenni juga memaparkan kondisis ekstrimisme berdasarkan survey dari Wahid Foundation. Terdapat 0,4% dari populasi indonesia pernah melakukan tindakan radikal, 7,7% ingin melakukan tindakan radikal, akan tetapi 74% menolak tindakan radikal. Menurut Yenni, dua faktor yang berkolerasi langsung dengan tindakan radikal adalah perasaan kuputusasaan dan sering terpapar dengan hate speech atau ujaran kebencian.
Untuk menangkal isu radikalisme, Yenni mencontohkan NU dan Muhammadiyah yang telah membangun counter narasi dan counter identity di tengah masyarakat. “Jadi, islam yang tidak hanya ideologis, akan tetapi islam yang memberikan ruang bagi hak minoritas, persamaan hak, toleransi dan perdamaian, pentingnya pendidikan, serta rasionalistas. Ini semua adalah counter narasi yang pernah dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah, sehingga identitasnya terbangun“. Yenni juga menambahkan counter identity secara nasional adalah melalui Pancasila. “Pancasila adalah menjadi jawaban dari persoalan ekstrimisme dan intoleransi yang sekarang kita hadapi karena di dalam pancasila sudah ada nilai – nilai kandungan dari setiap agama yang bisa menyatukan warganya“. Begitu pungkasnya.
Acara berlangsung lancar sejak pukul 10.30 hingga 12.30 dengan beberapa pertanyaan dan tanggapan kritis dari peserta.