Setiap Ramadhan hadir, Nahdlatul Ulama (NU) Jerman disibukkan dengan banyak kegiatan. Tidak terkecuali Ramadhan di tahun 2017 ini. Dengan asas manfaat dan kemaslahatan publik, Ramadan kali ini dimeriahkan oleh tiga kegiatan yang masing-masing terfokus pada peningkatan kekuatan spiritual, intelektual, dan tidak lupa pula sosial.
Jerman kerepotan. Negeri ini dihadang dua situasi: berkembangnya radikalisme atas nama Islam dan makin maraknya Islamofobia di antara masyarakatnya. Pemerintah Jerman dan segenap institusi terkait sedang melirik sejarah serta praktek toleransi dan koeksistensi antarsuku dan umat beragama di Indonesia untuk dijadikan contoh terbaik bagaimana deradikalisme dan pemberantasan Islamofobia diselenggarakan. Walaupun Indonesia sendiri saat ini sedang menghadapi sedikit polarisasi di tengah masyarakat sebagai akibat perbedaan sikap politik, Indonesia masih dipandang sebagai negara mayoritas muslim yang terbuka dan toleran.
Sore hari 19 Januari 2018 lalu, sekitar pukul 16:30 waktu setempat, Rumah Budaya Indonesia di Berlin yang baru dibuka kembali sejak 29 Oktober 2017, ramai dikunjungi anak-anak Arche dan warga Indonesia di Berlin. Anak-anak yang hadir sore itu, mendapat sambutan yang hangat dengan sapaan dan suguhan kuliner Indonesia.
Acara yang merupakan kerjasama dari Keluarga Muslim Indonesia Bremen (KMIB) dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman ini dimulai tepat pukul 15:00 waktu setempat dengan pembacaan Ratib Al-Haddad kemudian diikuti dengan sholat ashar berjamaah. Tepat setelahnya, para undangan menikmati hidangan soto ayam yang telah disiapkan. Kemudian acara dilanjutkan dengan sambutan dari ustadz Gery, panggilan akrab Trigerya, selaku tuan rumah, ketua KMIB, sekaligus mustasyar PCINU Jerman. Beliau sangat bergembira mengingat jumlah tamu yang hadir melebihi harapan terutama sebagiannya merupakan keturunan Rasulullah SAW. Oleh habib Salim acara dilanjutkan dengan pembacaan biografi singkat habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, sebelum kemudian jamaah bersama-sama membaca surat Yasin dan tahlil yang juga diperuntukkan kepada sulthonul ulama al-imam al-habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri yang baru saja wafat. Maulid Simtudduror kemudian dibaca dengan dipimpin oleh para habaib yang hadir dilanjutkan dengan doa penutup yang dipimpin oleh kyai Maemun Fauzi, syuriah PCINU Jerman.